Disonansi Kognitif: Contoh, Penyebab, dan Cara Mengatasinya

Ferdinand

Disonansi Kognitif, Contoh, Penyebab, dan Cara Mengatasinya

Disonansi kognitif (cognitive dissonance) dapat diartikan sebagai perang batin. Hal ini terjadi saat kamu harus melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai, prinsip atau keyakinan pribadi yang selama ini telah kamu pegang. Meski begitu, disonansi kognitif “bukanlah” sebuah mental illness yang perlu kamu waspadai. Sebab setiap kita sejatinya pernah mengalami hal ini dalam kehidupan sehari-hari.

Teori disonansi kognitif sendiri muncul pada tahun 1957 yang diprakarsai oleh Leon Festinger. Dimana teori ini kemudian menjadi teori yang cukup berpengaruh pada keilmuan psikologi sosial. Menurut festinger, ada dua hal yang akan dilakukan seseorang saat harus menghadapi konflik batin, yakni mengubah perilakunya atau mengubah pemikirannya. Hal ini semata dilakukan untuk menghilangkan ketidaksesuaian yang membuat mereka tidak nyaman.

Contoh disonansi kognitif dalam kehidupan sehari-hari

Contoh disonansi kognitif dalam kehidupan sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menjumpai disonansi kognitif pada orang-orang yang merokok. Setiap perokok aktif sejatinya tahu bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan mereka. Mereka bahkan tahu ancaman penyakit apa saja yang mengintai jika mereka terus melakukan kebiasaan ini. Meski begitu, kebanyakan mereka akan tetap melakukannya. Ketidaksesuaian inilah yang pada akhirnya coba untuk mereka ubah. Ada yang mencoba untuk mengubah perilakunya dengan berusaha menghentikan kebiasaan merokok, namun ada pula yang lebih suka mengubah pemikirannya dan mencari pembenaran yang dapat mendukungnya untuk terus merokok, seperti keyakinan bahwa merokok dapat menghilangkan stres.

Atau dalam contoh lain, setiap kita rasanya tahu bahwa berolahraga serta mengkonsumsi makanan yang bergizi adalah 2 hal yang baik untuk dilakukan jika ingin hidup sehat. Namun berapa banyak yang kemudian melakukannya?

Itu baru dua contoh sederhana dari disonansi kognitif dalam kehidupan sehari-hari

Penyebab disonansi kognitif

Namun, apa sebetulnya penyebab dari disonansi kognitif? Setidaknya, ada beberapa hal yang kerap melatarbelakangi hal ini, seperti:

1. Tekanan dari orang lain

Dalam dunia kerja misalnya, ada saat-saat dimana kita diminta untuk melakukan suatu hal yang sangat bertentangan dengan nilai atau prinsip yang kita anut, Namun disaat yang sama kita terpaksa melakukannya untuk mempertahankan posisi kita dalam perusahaan tersebut. Yap, gampangnya kita terpaksa melakukannya agar tidak dipecat.

2. Saat harus mengambil keputusan

Bagi kamu yang pernah meninggalkan kampung halaman untuk merantau dan bekerja di kota atau bahkan negara lain. Kamu tentu pernah merasakan konflik batin yang satu ini. Yap, kamu mungkin pernah berada di persimpangan, dimana kamu harus memilih dan memutuskan. Apakah akan menerima tawaran untuk bekerja di tempat yang kamu idam-idamkan dengan gaji yang cukup fantastis namun jauh dari keluarga. Atau menolak tawaran tersebut dan mencari pekerjaan lain agar bisa dekat dengan keluarga. Tentu, keduanya bisa menjadi keputusan yang tepat. Namun secara naluriah, setiap kita biasanya akan mencari argumen untuk mendukung keputusan itu.

3. Saat berusaha mencapai tujuan

Ada nggak sih diantara kamu yang sedang berusaha mencapai sebuah tujuan. Apapun itu. Namun ditengah jalan, kamu akhirnya sadar bahwa waktu yang telah kamu habiskan untuk mencapai tujuan yang satu ini ternyata sudah sangat banyak alias menyita sebagian besar waktu berhargamu. Jika hal itu kamu anggap worth it, kamu mungkin akan berpikir bahwa sebagian besar waktu yang sudah kamu habiskan adalah waktu-waktu yang sangat menyenangkan. Namun sebaliknya, sebagian orang mungkin justru akan mengubah haluannya karena merasa telah menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga dalam hidupnya demi sesuatu yang belum tentu dapat mereka capai.

4. Saat menerima informasi baru yang cukup mengejutkan

Saat pandemi misalnya, setiap kita secara sadar mematuhi berbagai protokol kesehatan di tempat-tempat umum, seperti kampus, sekolah, kantor hingga pusat perbelanjaan. Salah satunya dengan Mengenakan masker. Tentu bagi kita yang terbiasa menghirup udara dengan bebas, mengenakan masker akan cukup bertentangan dengan kebiasaan yang selama ini telah kita jalani. Maka biasanya akan ada 2 versi orang yakni mereka yang setuju dengan hal ini untuk alasan kesehatan (yakni supaya tidak tertular dan menularkan), maupun mereka yang tidak setuju dan menganggap bahwa covid-19 tidak ada dan tetap mempertahanan kebiasaan mereka untuk tidak mengenakan masker.

Nah, keempat hal inilah yang paling sering menyebabkan disonansi kognitif dalam diri kita.

Cara mengatasi disonansi kognitif

Cara mengatasi disonansi kognitif

1. Dengan menolak atau mengabaikan sebuah informasi

Misalnya, saat seorang perokok secara tidak sengaja menjumpai sebuah informasi yang mengatakan bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai komplikasi gangguan kesehatan. Alih-alih menghentikan kebiasaan merokoknya, orang tersebut mungkin justru akan mengabaikan informasi tersebut dengan mengatakan bahwa informasi tersebut belum tentu benar. Atau belum ada penelitian yang membuktikan hal itu. Kondisi ini dikenal dengan istilah bias konfirmasi.

2. Melakukan justifikasi atau membenarkan tindakannya

Misalnya, pada karyawan. Disatu sisi, ia tahu bahwa mengkonsumsi alkohol adalah hal yang beresiko bagi kesehatan. Namun disisi lain, ia terpaksa melakukannya untuk memberi kesan yang baik dimata atasannya. Bisa jadi karena memang diajak, dan terpaksa harus menemani karena sungkan untuk menolak. Atau karena alasan lain, yang mungkin juga dapat mempengaruhi karirnya diperusahaan tersebut. Jika sudah begitu, biasanya orang tersebut akan menjustifikasi bahwa tindakan yang dilakukannya semata hanya untuk mempertahankan karir dan pekerjaannya diperusahaan itu.

3. Mengubah perilaku dan keyakinannya

Meski dua poin pertama diatas terkesan cukup negatif. Nyatanya adapula orang yang bisa mengatasi disonansi kognitif secara positif. Yakni dengan mengubah perilaku dan keyakinannya. Lagi-lagi kita ambil contoh pada perokok. Meski mayoritas mungkin akan melakukan bias konfirmasi sebagaimana yang telah kita bahas di poin 1 tadi. Nyatanya, adapula yang justru memilih untuk melakukan hal yang sebaliknya, yakni menerima informasi tersebut, mengubah keyakinannya yang semula menganggap bahwa rokok tidak berbahaya, dan kemudian mengubah perilakuknya dengan berhenti merokok. Tentu, ini poin yang paling sulit untuk dilakukan. Namun, jangan lupa bahwa poin inipun sebetulnya bisa kamu lakukan.

Meski tidak dianggap sebagai mental illness, kamu tetap dapat mengkonsultasikan hal ini pada psikolog. Terutama jika disonansi kognitif dirasa telah menganggu kehidupanmu sehari-hari.

 

Artikel Lainnya

Bagikan:

Ferdinand

Dear GOD, Thank you so much for all Your stupid blessing to stupid people like me :)

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.